Rabu, 24 September 2014

Alle ciniki panne ri pamantanganna biasa tonji intu si gentok-gentok

Apa yang terlintas di pikiran anda saat menyebutkan kata piring? lapar, kenyang, enak, gurih ataukah ingin sedikit berfilsafah sebagai Simbol peradaban manusia, piring adalah cara makan yang terus berkembang seiring majunya peradaban manusia ataukah melihatnya dari segi ringkihnya, sekali banting hancur berkeping tak berguna lagi?
Di makassar piring begitu dekat dengan simbol kemakmuran manusia, sebuah piring adalah simbol representatif kebutuhan hidup manusia. Oleh karenanya piring dalam bahasa makassar adalah “Panne” yang secara ejaan sangat identik dengan kata “panno” yang dalam bahasa indonesia berarti “penuh”. Pengindentikkan kedua suku kata panne (piring) dan panno (penuh) adalah doa agar piring selalu berisi penuh, panne panno (piring yang penuh) adalah simbol kemakmuran paling sederhana dimana semua kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Adalah sebuah hal biasa saja jika piring disandingkan dengan kemakmuran, karena dibagian dunia manapun kemakmuran terdasar di tandai dengan terpenuhi pangan kemudian sandang dan papannya.
Jika mendengar kata makassar, otak anda mungkin akan menandai kata “tegas bahkan mungkin kasar”. Kode di otak anda tidak sepenuhnya salah tapi kurang tepat (:)), karakter orang makassar sebenarnya hanya tegas saja. Janganlah kemudian menjadi bingung pada ketegasan orang-orang makassar, bukan karena mereka memang kasar (banyak yang mengartikan nama kota makassar dengan membagi dua suku kata “ma” dan “kasar”). Mengenai nama kota makassar, sebenarnya kota makassar memang terdiri dari dua suku kata yaitu ‘mang” dan “kasarak” tetapi kata “kasarak” dalam bahasa makassar bukan berarti kasar, tetapi “jelas”.
Tapi tahukah anda jika di makassar piring juga di gambarkan dengan toleransi??? Pasti anda akan berpikir, wajarlah! karena piring kan simbol makanan dan sebagian dari toleransi adalah berbagi, terdasar dari berbagi adalah makanan.

*Yah, kebutuhan dasar manusia itu makanan, equal to piring!*

Tapi, bukan toleransi seperti itu yg di gambarkan dengan piring di makassar tapi sebuah toleransi yang mewajarkan perbedaan dan perselisihan.

Lho?! Kemana nyambungnya sebuah piring dengan kewajaran sebuah perbedaan???

Yah!! memang tidak akan nyambung kalo hanya sebuah piring karena yang sedang dibahas adalah perbedaan, tidak mungkin berbeda dan berselisih jika hanya sebuah,kan??? Harus ada banyak jika ingin melihat perbedaan dan perselisihan.

"Alle ciniki panne ri pamantanganna biasa tonji intu si gentok-gentok"

Sebelum bingung, baiklah diindonesiakan saja menjadi "coba perhatikan piring-piring di tempatnya (raknya) mereka juga suka saling beradu".

Peribahasa itu mengajak kita belajar pada piring, piring saja yang benda mati, nyaris dibuat dengan model yang sama dengan tujuan yang sama (alat makan) masih saja suka bersenggolan tapi pernahkah piring di rak yang saling adu itu kemudian pecah dan tidak lagi berguna? Piring di rak yang saling beradu biasanya cuma kedengaran suara detingannya dan tenang diam kembali kecuali ada yg terbanting jatuh dari raknya maka hancurlah dia berkeping tak berguna.
Dan ketegasan orang makassar terbentuk dari cara pandang sebuah perselisihan dalam kemajemukan dan kebersamaan. Orang makassar selalu tegas pada prinsipnya dan tidak khawatir pada perbedaan dan perselisihan karena bagi orang makassar, perbedaan dan perselisihan hanya sesederhana deretan piring di rak saling bergesek itu biasa asal jangan membuatnya jatuh dari rak karena pilihannya hanya hancur tak berguna. Rak itu dianalogikan dengan "siri na pacce" (kehormatan dan toleransi/persaudaraan).

Mengapa saya mengangkat "Alle ciniki panne ri pamantanganna biasa tonji intu si gentok-gentok" dalam blog ini, alasannya sederhana, sesederhana kekagumanku pada kekayaan seni bahasa daerah makassar. Sebuah piring pun mampu mewakili betapa "sepele"nya perbedaan, perbedaan yang merupakan sunnatullah jika ada lebih dari satu bagian lalu kenapa perbedaan yang mengakibatkan perselisihan harus “dilebihkan” jika sebuah piring saja saling berselisih.


Oh iya, aku teringat pada suatu sore yang santai saat saya dan empat orang teman saling berdebat kusir soal capres kemarin antara no.1 dan 2 (wajarlah sebuah trendsetter kala itu). seperti lazimnya keadaan kemarin, perbedaan dukungan antara 1 dan 2 memercik emosi antara aku dan dua orang temanku demikian panas perdebatan hingga hampir saja meja menjadi sasaran tamparan tangan, dan tiba-tiba saja seorang teman yang memilih menjadi golongan putih walaupun kulitnya coklat ala-ala makassar terbakar matahari itu menyelutuk "ngapa na baku gea kamma? Pilih meko saja pilihannu ka tea meko emosi" (kenapa berdebat? Pilih saja sesuai pilihan hati tidak perlu saling emosi) dan teman lawan debat kusirku tadi sambil memainkan piring wadah cemilan di meja, menjawab santai : "Alle ciniki panne ri pamantanganna biasa tonji intu si gentok-gentok" sambil tertawa dan pecahlah tawa kami di coffeshop sore itu.

Inilah kami makassarian, mempertahankan pendapat itu biasa, saling berdebat itu sepele, sepele dentingan piring di raknya.



Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati”  http://tenteraverbisa.wordpress.com/2014/08/22/kontes-sadar-hati-berhadiah-tablet-pc/




Tidak ada komentar:

Posting Komentar